Minggu, 09 September 2012
Kebudayaan di Bantul: Harapan dan Strateginya[1]
Oleh: Dr.
Timbul Raharjo
A.
Pendahuluan
Aktivitas budaya di Kabupaten Bantul memiliki kekuatan yang luar biasa, terutama pada enthusiasm masyarakat untuk nguri-uri
budaya Jawa. Hal ini tercermin pada pelaksanaan kegiatan budaya yang ada,
seperti upacara merti deso, ruwatan, acara selamatan, seni pertunjukan, dan
seni rupa. Hal ini ternyata merupakan ekspresi keinginan masyarakat dalam
mencintai kebudayaan itu terutama seni-budayanya. Masyarakat Bantul dan seninya
telah menjadi satu kesatuan mendarah daging sebagai wujud spirit jiwa
masyarakatnya untuk menggerakkan keinginan dan kemauan berkarya sekaligus dalam
mengapresiasi seni. Patut disayangkan
ketika seni dan budaya dikesampingkan
dan dianggap tidak penting.
Bantul memiliki komitmen pengembangan seni
dan budaya, seperti diketahui hampir 20 persen masyarakat Bantul hidupnya
bergantung pada seni budaya. Bantul memiliki Institut Seni Indonesia (ISI)
Yogyakarta, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)-Kesenian, Akademi Teknologi Kulit (ATK),
dan beberapa Sekolah Menengah Industri Kerajinan (SMIK) yang juga muncul di beberapa
tempat. Hal ini menjadi aktivitas dalam menelorkan creator baru yang siap memeberikan nuansa seni pada masyarakat. Yang
menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara mengelola potensi yang begitu besar
ini menjadi kekuatan sebagai bidang yang dapat dieksplor, diinovasi, dikembangkan,
dan diberdayakan potensi itu menjadi aktivitas yang tidak hanya menjadi aktivitas
sampingan belaka, namun bisa mensejahterakan masyarakat.
Kebudayaan dalam berbagai hal selalu
menjadi ujung tombak, seperti upaya negoisasi, relationship antar manusia. Kerjasana
tidak hanya berbentuk ajakan dengan deplomasi wacana belaka, namun dengan seni
dan budaya berdampak pada kedekatan rasa. Dengan budaya kerjasama antar manusia
antar wialyah, bahkan antar Negara, maka menjadi keakraban dalam suasana
beretika dan ber-estetika. Inilah yang kemudian dalam hubungan itu muncul
duta-duta seni dan budaya. Hal ini karena seni merupakan aspek budaya yang
menonjol, perkembangan budaya merupakan aspek kehidupan manusia sezamannya.
Namun saya setuju dengan pendapat umum bahwa budaya yang sering dikaitkan
dengan aktivitas kesenian dan upacara bernuansa pelestarian kabuyaan.
Kebudayaan telah menjadi habits dalam masyarakat baik yang menyadari maupun tidak. Tanggungjawab kita adalah
menumbuhkan dan mengembangkan, dan meregenerasikannya. Strategi budaya harus
dilakukan guna pengembangan yang mencakup hal-hal bersifat pemahaman atas
persaingan global yang bernuansa dersentralisasi budaya makin meluas. Perlunya upaya-upaya
pengenalan seni budaya pada anak cucu. Kebudayaan tumbuh harus tumbuh dan
berdampak pada penghidupan masyarakat, baik ekonomi, sosial, dan politik.
B.
Kekayaan
Warisan Budaya
Jika kita berbicara masalah kebudayaan mirip
jika membicarakan persoalan Negara, arah
pembangunan, arah ideology, dan lain sebagainya. Budaya dapat menyangkut
berbagai hal dalam hidup kita, dari yang hanya bersenang-senang sampai pada
yang sangat serius. Lintas masalah dapat dilihat dari perspektif kebudayaan
yang terefleksikan pada sifat, kesukanan, tingkah laku, manusia. Keseimbangan
penanaman, pemahaman nilai warisan budaya adiluhung itu menjadi kurang efektif
manakala porsi-porsi alokasi kepada masyarakat dalam format kebijakan
pemerintah masih dianggap kurang penting.
Warisan budaya yang adiluhung itu memberikan nilai-nilai bagi kehidupan masyarakat.
Nilai budaya yang berupa budaya tertulis dan tidak tertulis, tingkah laku
manusia, etika Jawa, filosofi kejawen,
dan bentuk kecintaan pada apek budaya rupa. Kecenderungan-kecenderungan pengaruh
budaya asing juga tidak terelakan, hal ini tidak disadari telah mengubah nilai-nilai
budaya setempat. Terjadi prcampuran budaya yang diakibatkan dari makin cepatnya
hubungan antar manusia itu.
Kekayaan
budaya kita yang beraneka ragam
telah menjadi nafas dalam kehidupan masyarakat Bantul. Bantul wilayah
yang memiliki seni budaya paling dinamis dan beraneka ragam. Potensi yang
demikian, secara alamiah telah memberi penghidupan bagi para pendukungnya,
seperti seni pertunjukan, seni rupa, dan kerajinan. Terdapat kelompok kesenian
wayang, ketoprak, moco-pat, jatilan, keroncong, campur sari, gejok lesung,
cokekaan, hadroh, teater, sastra, band, ndangdut, dan lain sebagainya. Juga
terdapat seni rupa, banyak perupa tinggal di Bantul. Aktivitas mereka
dibuktikan dengan hampir tiap minggu dapat dipasti diselenggarakan pameran seni
rupa di Jogja terutama Bantul dengan banyak galeri yang muncul (Sangkring Art
Space, Tembi, Galeri ISI, SMSR, Galeri Batik di Imogiri, dan lain sebagainya),
terdapat kantong-kantong seni kerajinan seperti batik dan wayang di Imogiri,
gerabah Kasongan, Krebet, Pundong, dan lain sebagainya.
Kekayaan seni budaya di Bantul telah mentradisi
sejak nenek moyang dan telah mampu mensejahterakan masyarakat pendukungkan.
Masyarakat Bantul hampir 20 persen menggantungkan hidupnya pada kesenian. Produk
seni budaya itu telah terjual sampai ke manca Negara. Penulis pernah membuat statement bahwa, the
Makah of kriya is Bantul, alasannya,
bahwa inovasi seni kerajinan selalu muncul dari Bantul dan menguasai di wilayah
Bali, Eropa, dan Australia.
C.
Pertumbuhan Kebudayaan
Pentingnya pengembangan kebudayaan agar tidak
statis. Kebudayaan harus tumbuh sesuai jiwa zaman. Kebudayaan harus mampu
menghidupi pelaku, pendukung, dan masyarakatnya. Lebih baik menjadi kota yang
tumbuh kebudayaannya dari pada statis dengan hanya kaya warisan. Oleh karena
itu perlu strategi kebudayaan agar budaya dapat bergerak maju mengikuti
perkembangan zaman.
Kebudayaan yang berupa heritage, popular, dan alternative memiliki strategi sendiri pada
masing-masing jenis. Pemilahan atas preoritas mana yang akan dikembangkan,
setiap budaya memiliki porsi masing-masing. Pemahaman atas porsi itu dapat
dijadikan blueprint dalam strategi
menentukan arah pertumbuhan kebudayaan. Hal
inilah yang sampai saat ini belum ada kesadaran dari para pemangku yang terkait
dengan kebudayaan. Tentu tidak bisa hanya berbangga dengan warisan yang begitu
banyak, namun kebudayaan harus berkembang, beberapa factor heritage yang dikembangkan bukan persoalan nilai budayanya, namun
pada strategi managements agar heritage itu memiliki manfaat yang baik
terhadap kemaslahatan masyarakat.
Jika dalam setrategi kebudayaan berfikir
tentang tumbuh, maka kota yang telah memiliki warisan yang kuat akan semakin
tumbuh lebih maju dan lebih baik. Materi budaya kita jika dibandingkan dengan
wilayah lain atau Negara lain lebih banyak, tercermin pada tingkat skill
pelaku, creator-nya, namun yang
menjadi kelemahannya adalah system pengelolaan yang tidak tersinergis antar
bidang antar departemen, baik negeri maupun swasta. Belum dimunculkan
upaya-upaya mensinergiskan dari steak
holder yang ada untuk bersama berbicara dalam sebuah symposium atau
sejenisnya mengenai misalnya mengklasterkan kantong-kantong kesenian yang
dikeroyok dari berbagai departemen.
Budaya yang tumbuh menjadi impian kita
bersama, meskipun secara sporadic
kantong seni budaya dan kelompok masyarakat pecinta seni budaya, namun secara
alamiah telah melakukan upaya-upaya dalam rangka mengekspreikan seni budaya
pada masing-masing wilayah untuk pemenuhan kebutuhan rohani mereka.
D.
Desentralisasi
yang Makin Ketat.
Seperti
diketahui perkembangan dan perubahan saat ini setelah diberlakukannya otonomi
daerah dan suksesnya demokrasi, membuat setiap wilayah mencoba bangkit merias
diri agar menjadi wilayah menarik. Perbaikan dalam segala bidang diupayakan,
dan umumnya tergantung pada pemimpin daerah itu. Pemimpin yang hanya berpola
pada rutinitas pelaksanaan kepemerintahan pasti akan mengalami stagnasi pada
tingkat pertumbuhan, sebab peningkatan kewaspadaan akan disentralisasi
kebudayaan tidak hanya bangga dengan potensi yang besar, namun upaya
pengembangan potensi itu harus diupayakan secara terus-menerus. Peruhanan
geo-grafi, geo-politik, demografi, dan disentralisasi dalam seni budaya terus
bergerak mencari ruang masing-masing.
Kesadaran
akan perubahan itulah telah disadari untuk mencari celah kesempatan dalam
pengembangan seni budaya. Secara kewilayahan perubahan tata kelola area dan
sentra sebagai kantong budaya telah mengalami persebaran yang luar biasa. Didukung
dengan strategi politik pada setiap wilayah untuk membangkitkan sentiment kedaerahan untuk
menumbuhkembangkan seni budaya setempat. Tentu dukungan demografi yang makin
berkembang, regenerasi seni budaya menjadi sangat penting sebagai filter budaya
asing yang belum tentu pas dengan budaya setempat. Kecenderungan generasi yang
masih suka bertingkah-laku dan berpola hidup yang tak sesuai dengan budaya
timur, dikawatirkan terjadi gagal regenerasi.
Perlu
disadari bahwa pertumbuhan budaya atas pengaruh asing dari akibat globalisasi
tetap menjadi bagian dari pertumbuhan itu. Keterpengaruhan sebagai dasar
pengembangan dapat diterima, sebagai upaya mempertumbuhkan budaya itu agar
dapat diterima di ranah global. Setiap daerah menambakan daerahnya dikunjungi
sebagai yang perlu dikunjungi baik untuk berinvestasi, berbisnis, berwisata dan
lain sebagainya. Kesadaran agar menarik itilah uyang membuat makin maraknya
desentralisasi seni budaya. Bahkan ada yang mengupayakan pembangkitan budaya
yang telah lama mati suri, membuat baru, dan berbagai altenatif yang dipakai
sebagai identittas suatu wilayah. Telah terjadi kecenderungan, bahwa tiap
wilayah harus memiliki ciri khas budaya atas dasar kreativitas para pemangkunya.
Mampunkah Bantul sebagai gudangnya seni dan budaya bisa menjadi modal budaya
yang dapat memberikan ciri khusus agar menarik untu dikunjungi orang.
E.
Managemen
yang Baik
Dalam
pola pembinaan seni dan budaya diperlukan komitmen dari dewan, pemerintah, dan
pelaku budaya. Komitmen ini penting untuk membangun bersama dalam menumbuhkan
budaya secara menyeluruh. Diperlukan managemen yang baik bagi para pihak, intruspeksi
diri dan sifat entrepreneur di antara
pelaku budaya belum baik. Pentingnya sinergisme para pihak itu secara menyeluruh
agar pelaksanaan kegiatan dilapangan tidak terjadi tubrukan. Pembinaan dapat
disernergiskan antar departemen di pemerintah, juga lembaga swasta, BUMN dan lain sebagainya. Sering terjadi
ketidaksingkronan di antara mereka, yang terjadi justru aktivitas yang tidak
banyak memberikan pengaruh signifikan.
Sifat
entrepreneur pada para birokrat perlu dimiliki, bahkan sebelum menjadi birokrat
harus paham tentang seni dan budaya dengan pembutian atas kecintaannya.
Dasar entrepreneur itu akan berdampak
pada bagaimana pola pembinaan sebagai strategi kebudayaan. Entrepreneur dalam
kebudayaan akan lebih mengutamakan hasil-hasil yang maksimal untuk meraih
kemungkinan manfaat yang lebih tinggi. Manejemen menjadi penting dalam skala
ini, namum terkadang di lapangan tidak seindah yang dibicarakan, pasti terjadi conflict of interest diantara mereka.
Sebab beban masing-masing pelaksana ikut di dalamnya.
Kemampuan
untuk menyatukan para creator budaya masih menjadi persoalan, sebab sifat dasar
seorang seniman yang mengutamakan sifat individualistic tak sesuai dengan sifat
managerial. Basik kreatif menurut kata hati bertemu dengan pengaturan materi,
kualitas, dan waktu. Kemampuan pemangku pemerintahan untuk manage sebuah pola penataan dan pembinaan masih memerlukan langkah
panjang. Materi jauh hari telah disampaikan, namun begitu pelaksanaan kendala
di jalan tidak semudah yang diwacanakan. Terkadang orang yang memiliki
kemampuan managerial yang baik belum tentu dapat kesempatan, celakanya ada yang
memiliki kesempatan, namun tidak memiliki managerial yang baik. Memang
sebaiknya semua pihak mengedepankan pembinaan dengan managemen yang bersubtansi
pada capaian maksimal, dan pembekalan badi para pemangku itu.
F.
Program
Bukan Proyek
Dalam kegiatan pembinaan seni budaya telah
terjadi kesenjangan kepercayaan antara para pelaku dan pembina. Hal ini terjadi
secara berulang, pembinaan seni kerajinan misalnya, ketika pelaku ditanya
butuhnya apa?, mereka serempak bantuan pelatihan dan modal. Ketika dianggarkan
saatnya pelatihan mereka tidak mau datang sebab pekerjaan harian yang lain
banyak, kalau diminta datang harus ada uang saku pengganti hari itu. Sementara
pemerintah harus melakukan pembinaan sesuai dengan waktunya, pelaksanaanya
harus ada Pembina dan yang dibina, maka dari pada dikembalikan ke pihak
pemerintah harus bersedia menyediakan uang saku. Siapa yang salah, pihak
pemerintah berpatokan pada pertanggungjwaban yang baik dan benar, yang lain
tampak tak acuh dengan pelaksanaan kegiatan pelatihan itu tergantung ada
duitnya apa tidak.
Apalagi tentang dana, yang konon menjadi
masalah utama sebagai modal untuk memulai kegiatan usahanya. Begitu antusiasnya
untuk memperoleh dana lunak yang harus dikembalikan mereka ngemplang, yang
akhirnya kepercayaan pada keduanya menjadi sangat berkurang, masing-masing
pihak saling menyalahkan. Yang terjadi sulitnya pihak pemberi dana mencari
orang yang mampu menerimanya.
Kegiatan pembinaan yang semula
berbasik pada program kemudian berubah menjadi project. Pola pikir demikian
dapat dimengerti, ketika program tersbut orientasinya pada pertangungjawaban
formal pada tatacara pemerintahan, bukan lagi seberapa jauh manfaat yang
didapat dari pembinaan itu, namun terselesaikan espejenya. Dapat dimaklumi
kemampuan keterbatasan pengetahuan para pejabat tentang ilmu budaya yang bukan
bidangnya. Jika tidak cerdas, maka pembiaran yang berujung pada kerusakan,
hilang nilai, lunturnya kepercayaan pada pihak yang seyogianya memberikan
peluang dan kesempatan dengan pola yang jelas.
G.
Kepandaian
Mengelola Tema
Strategi
diperlukan untuk memberi peluang-peluang bagi pengembangan budaya. Pihak
pemerintah, swasta, komonitas, dan masyarakat umum memiliki modal social yang
kuat untuk dapat diekplorasi agar tercapai pengembangan budaya yang tepat
sasaran. Kepandaian mengelola tema menjadi hal pokok yang perlu diperhatikan.
Pada setiap departemen tentu memiliki program kerja tahunan baik yang dibiayai
oleh pemerintah daerah mamupun dana lain, mereka memiliki program namun
kemampuan mengelala budaya tidak ada. Tugas seorang entrepreneur kebudayaan
mampu menjadi penjait atas potensi, peluang yang ada pada lembaga-lembaga
tersebut.
Maka
perlunya membuat strategi kebudayaan yang berpatok pada ketrampilan mengaitkan
dengan persoalan-persoalan yang sedang terjadi. Misalnya seni yang dikaitkan
dengan lingkungan, sampah, human
trafficking, limbah pabrik, dan berbagai keprihatinan yang muncul di
masyarakat. Dengan demikian seni budaya yang direncanakan sesuai dengan
kebutuhan apa yang sedang diperlukan di masyarakat.
Banyak
perusahan, funding, dan department
(pariwisata dan industry kreatif, pendididkan, dan lainnya) memiliki program yang dapat diserap sebagai
lahan untuk mengekspresikan seni budaya di masyarakat. Ketrampilan dan kepekaan
demikian perlu menjadi bahan pertimbangan diantara pelaku budaya di
Bantul. Ide kreatif menjadi point
penting dalam pengembangan seni budaya Bantul, seperti ide program “celengan
budya”, untuk mengukur seberapa serius pada pandemen
budaya untuk ikut terlibat dalam pengembangan seni budaya di Banrul.
H.
Penutup
Dari ngudoroso di atas dapat
disimpulkan :
1. Bantul
memiliki kemampuan seni budaya untuk berkembang didukung keberadaan ISI
Yogyakarta, SMSR, SMKI, SMIK, ATK, dll. Ternyata mampu memberikan predikat
Bantul sebagai kabupaten seni kriya terkemuka di Indonesia.
2. Diperlukan
kemampuan managerial yang baik, didukung dari pihak pemerintah serta
departemen, dengan strategi kebudayaan yang baik pula. Seni Budaya tak akan
berkemang jika kepedulian dari berbagai pihak untuk ikut terlibat dalam
pengembangan tidak ada
3. Kewaspadaan
akan perubahan budaya yang demikian maju di wilayah lain diluar Bantul, makin
ketat dan memiliki daya dobrak yang baik pula.
Demikian
terima kasih
[1]
Disampaikan dalam diskusi budaya di Rumah Budaya Tembi, diselenggarakan oleh
Dinas Kebudayaan Kab. Bantul tanggal 16 Juli 2012.
Langganan:
Postingan (Atom)